Selasa, 03 April 2012

FILSAFAT HUKUM (Desain & Arsitektur Kesejarahan Karangan Herman Bakir) Resume di UNISSULA Dsn:Jawade HafidZ


FILSAFAT HUKUM
DESAIN DAN ARSITEKTUR KESEJARAHAN
(HERMAN BAKIR, SH.,MH.)
Tiga orang yang menjadi legenda dunia seperti karl Friedric Nietsche dengan Thus spake Zarathustra-nya yang sangat termasyur, Immanuel kant dengan The Critique of pure reason, Serta Hans Kalsen dengan The pure Theory of law. Ketinganya dianggap memberi guncangan yang sagat dasyhat di abad ke-20 oleh Penulis buku Filsafat hukum, desain dan arsitektur kesejarahan yang kami resumekan ini.
Defragmentasi dalam pengembangan filsafat hukum, “sejarah filsafat hukum” hanya akan terlibat dalam pengintegrasian pada dua keompok besar, yaitu hukum alam dan positifisme hukum. Filsafat hukum sudah mengusahakan jalan keluar bagi beragam persoalan dan masalah pengkumulasiannya. Tentunya sambil terus mengembangkan diri dan mempertegas kemandiriannya sebagai suatu autonomoaus discipline (disiplin yang mandiri) dari filsafat umum sebagai induknya, lepas dari segala kompleksitas yang demikian lekat melingkupinya. Namun bahaya dari pemandirian ini adalah bahwa hubungannya dengan filsafat umum dan cabang-cabang baru dari filsafat lainnya bisa saja terancam terputus.
Dalam prolog buku sejarah filsafat desain dan arsitektur kesejarahan ini, disebutkan ada tiga objek inperatif filsafat hukum.
1.      Takkalah yang hendak digelindingkan adalah sebuah filsafat hukum, maka pada pandangan yang sangat pertama kita akan singga diperkampungan mitologi yang meritmekan hukum dalam syair-syair tua yunani tuan Homer, tuan hesiodes serta ahli warisnya yang mengusahakan revolusi dalam dunia sastra dan fiksi. Ini adalah kunci untuk masuk kedalam dunia filsafat hukum. Jika itu adalah “ilmu hukum” (tehnik praktikal hukum), maka tak ada yang bisa diartikulasikan selain memasyurkan ide-ide pragmatikal bangsa-bangsa roma, karena bangsa roma memutakhirkan pola pikir ilmu hukum konvensional kedalam sebuah tradisi berfikir yuridis yang logikal, terkonseptualisasi, dan tersistematisasi. Namun jika ia adalah sebuah Teory hukum kita akan slalu berfikir tantang keduanya, dan hans kalsen secara cemerlang telah melakukan kombinasi pada keduanya dalam ide positivisme sebagai salahsatu dari dua aliran induk beserta ruas-ruas pengkumulasiannya berkedudukan ditengah-tengah, antara yunani dan roma. Dan ketika filsafat hukum  adalah ungkapan dunia maka ia berada pada derajat tertinggi bahasa universal yang juga dihubungkan dengan konsep tertentu mengenainya, sebagaimana halnya konsep-konsep itu ditransmisikan kedalam aturan-aturan umum untuk mengabduksikan sensasi-sensasi yuridikal tertentu yang bertempramen sangat spesifik.
2.      Manakala filsafat hukum ketataran kompetisi ilmu-ilmu normal, maka ia adalah poduk sejarah ilmu. Dalam konteksnya filsafat hukm menjalani kesejarahannya yang karena ia telah mewarnai dan diwarnai kesejarahan ilmu-ilmu. Ia memiliki bentuk lampau, bentuk searang dan bentuk masa depan.
3.      Sejarah filsafat hukum dapat dikatakan makam para filsuf. Yang dekat batu nisannya bersandar sejumlah aliran-aliran yang ditorehkan pada sejarah pohon filsafat hukum. Dimana sejarah ini seperti diawal penulisan ini bahwa dari aliran-aliran itu terakumulasi kedalam dua paradigma terkuat dan terbesar dalam peradaban hukum manusia yaitu hukum alam dan Positivisme hukum.
Hukum alam mempertahankan sikap yang otonom dalam meritualkan aktifitas berfikir yuridis atau memuliakan sesuatu yang eksis diluar kodifikasi (baca: konsep keadilan yang berlandaskan pada hati nurani).
Positivisme hukum mengusulkan sikap yang heteronom yang memberhalakan kodifikasi, yang pada masing-masingnya saling bersitegang dan melemahkan.
Dua konsep ini berkumulasi kedalam berbagai doktrin disejumlah aliran yang terpecah-pecah inipin berusaha mengungkap beragam hal yang sama (ide tertingimengenai hukum) dalam persfektif yang berbeda sehingga analogi-lah yang dimunkinkan melihat hubungan antara mereka pada masing-masingnya, atau pengetahuan tentang analogi itu sendiri, terutama ketika kita merasa berkepentingan dengannya. Turun dan berakumulasinya berbagai aliran melalui pengembangan dua konfigurasi inidoktrinal yang induk ini, menandakan betapa filsafat hukum telah memekarka diri dan memperdalam dirinya dalam cara-cara yang kumulatif, tidak revolusioner.
Dari keseluruhan aliran dan kumulasi itu meberi andil bagi lahirnya sejumlah bidang ilmu yang mnggelar study atas hukum ;
a.       Ilmu hukum roma pada abad ke-4
b.      Allgemeine rechtlehre (ajaran hukum Umum) abad ke-18 di jerman dan inggris,
c.       Rechtheorie (teori hukum) abad ke-19 di austria dan belgia. Begitulah seteresnya hingga kemunculan sosiologi hukum, psikologi hukum, antropologi hukum, kedokteran forensik, dan teoretikal yang paling tua yang dalam segenap keagungan dan kemudian telah berevolusi dan memekarkan diri, yaitu filsafat hukum.
Era peradaban hukum
Pergulatan pemikiran tentang penciptaan bumi dan siapa yang menciptakan atau hanya terjadi seperti teory big bang incident (supernova) selama bermilyar-milyar tahun yang lalu hanyalah rangkaian spekulasi atau sejumlah pendapat yang tahap perumusannya tidak didasarkan pada informasi atau fakta yang sepenuhnya akurat alias utuh. Dunia spekulasi dan atau dunia kenyataan jika diperhadapkan pada bagaimana karakteristik suatu ilmu yang ilmiah positif yang ditandai dengan selalu berangkat dari fakta yang kongkrit bukan spekulasi yang bermaian didalam atau dibelakang pikiran dan imajinasi dari penstudi bersangkutan, dengan ini akan meragukan spekulasi geologi atas kesahihan dan konsistensi penalarannya.
Dimana terdapat masyarakat (peradaban), konflik kepentingan pun berpotensi muncul, begitu juga dimana terjadi konflik hukum pun akan muncul menawarkan penyelesaian dari sini dilihat bahwa sejak dulu hukum telah mendudukkan dirinya sebagai forum atau instrumen prominental dalam ruas-ruas penyelesaian konflik-konflik kepentingan yang mencul ditengah-tengah peradaban manusia (subyek hukum). Konflik adalah sebuah fakta yang tidak dapat ditolak sebagai bagian dari masyrakat dan ini akan terus terjadi selama orang-orang hidup dalam masyrakat. (ubi societi ibi jus=dimana ada masyarakat/peradaban disitu ada hukum)
Yang dapat diperhatikan adalah
1.      Tampa hukum, tidak akan perna ada yang namanya masyarakat.
2.      Manusia, masyarakat, konflik dan hukum merupakan kesatuan yang tidak dapat ipisahkan.
Kominitas-komunitas primitif 2300-an SM. Era belum terpikirnya ide tentag institusi pengadilan/legislatur (kodifikasi hukum) = masyarakat pra modern=masyarakat primitif = masyarakat sangat sederhana yang membangun peradaban disepanjang tepian sungai tigris, nill, eufrat, maupun indus terlingkup dalam aturan adat kesukuan dalam terminologi kebiasaan yang dibiasakan yang ditiru dan diterima dalam komunitas sehingga mereka mengakuinya sebagai hukum.
Dalam periode ini dan yang sampai sekarang juga berlaku bahwa sesuatu itu hanya akan disebut hukum jika :
1.      Ia dapat dirasakan dan dianggap menimbulkan kewajiban disatu pihak dan hak-hak dipihak yang lain.
2.      Mengkonsekuensikan sanksinegatif dan sanksi positif berdasar pada tngkat kejiwaan yang dianut.
3.      Adanya mekanisme/cara kerja kekuatan mengikat ini yang hendak mengikatkan dirinya dalam relasi intersubjektif masyarakat bersangkutan-kekuatan mengikat itu dengan digelarnya upacara-upacara tertentu, sebab dengan menyelenggarakan upacara semacam ini, berarti umum mengetahui dan terbuka menyatakan pandangan-pandagan mereka.
Sebelas kodifikasi simponikal (tertua)

Sebelas kodifikasi simponikal (tertua)
Kodifikasi (ius scriptum) adalah sejumlah teks-teks tua otoritatif, penuangan aturan-aturan hukum kedalam bentuk tertulis yang dimuliakan oleh kaum positivis, dalam teory hukum ini adalah kompilasi sistematikal dan konseptual dari kehend bagian selatan.ak-kehendak yuridis, yang didalamnya antara lain terlingkup asas dan kaidah-kaidah yang diformulasi dalam bentuk tertulis.
1.      Kodifikasi urukagina : terjadi dalam rentang 2360-2350 SM. Dinegeri lagash kota kuno disumeria, mesopotamia era kaisar gudea.
2.      Kodifikasi sargon : terjadi dalam rentang 2335-2279 SM. Dengan penguasa kaisar sargon I pada bangsa akkadia.
3.      Kaisar UR-nammu: 2100 SM oelh kaisar UR nammu di sumeria, lembah sungai eufrat sekarang siria.
4.      Kodifikasi Lipit-Ihstar : 1930 SM. Sekarang Turki.
5.      The earliest know legal Decision (putusan pengadilan yang paling awal) : 1850 SM ditemukan putusan yang diabadikan disebuah tanah liat yang berisi tentang ketetapan hakim atas kasus pembunuhan.
6.      Kodifikasi Hammurabi : periode pra atenha (pra draco) : 1792-1750 SM. Kaisar hammurabi. Bangsa babilonia, asia barat daya lembah sungai tigris dalam teritory irak, dan sungai eufrat dalam teritory Syriah.
7.      The Ten commandment : 1300 SM. Munculnya kodifikasi murni yang dianggap sebagai wahyu dari tuhan yang diturunkan kepada musa as. Dalam terminologi inggris berdasar kitab suci injil umat kristiani.
8.      Kodifikasi Manu : India 1280-880 SM. Di india.
9.      Kodifikasi Assyria tengah : sekarang irak 1200 SM
10.  Kodifikasi Hukum bangsa Israil: bangsa yahudi, kodifikasi yang diturungkan oleh tuhan kepada orang-orang terpilih (nabi), dalam 5 buku pertama dalam perjanjian lama yang disebut taurat.961-922 Sm kaisar sulaiman yang memerintah israil kuno. Berdasrkan perjanjian baru era kaisar judea (yahudi).
11.  Kodifikasi Hittite: asia kecil dan siriya abad ke-13 SM, kaisar telephinus
Selain ke sebelas kodifikasi diatas adalah terdapat kodifikasi kuno yang lain setelahnya yaitu : kodifikasi draco: 621 SM, Kodifikasi Lycergus: 600 SM, Kodifikasi Solon: 550 SM, The Book Of Fhunishment:536 SM, Kodifikasi Duabelas Meja:450 SM, kodivikasi Lik-vei cina 350 SM, Kodifikasi Justinianus: 529 M, the eventeen article Constitucion of japan: 604 M, Kodifikasi T-ang: 653 M, Fhingerprinting is invented : 700, First Law School :1100, Magna charta:1215.
Mitologi Gerbang Alam Filsafat Hukum
Kelompok mitilogi di yunani yaitu saga, legenda, folktailes(cerita rakyat). Dengan mitologi akan dapat mereka pahami tentang pertanyaan dasar hidup seperti :
1.      Bagaimana alam ini berasal mula;
2.      Bagaimana spesies manusia dan hewan bisa sampai hadir keatas permukaan bumi;
3.      Bagaimana kebiasaan tertentu, gestur-gestur serta bentuk-bentuk yang paling awal dari manusia;
4.      Bagaimana sanga pencipta dan makhluk ciptaannya, melakukan relasi timbal-balik (interaksi).
Pentingnya mempelajari mitilogi yunani sebab mitologi merupakan kunci dari alam perenungan filsafat hukum, namun orang bisa saja membantah itu, dengan mngatakan mitologi bukanlah filsafat hukum atau dia dari demitologisasi. Tapi tak dapat dipungkiri, mitologi merupakan alasan dari hadirnya filsafat hukum ketengah-tengah peradaban barat.
Dewi Themis dan hubungannya dengan situs penegakan hukum dan keadilan datang dari bangsa dewa (pasangan Dewa langit auronos dengan gaea dewi bumi) dengan kemampuan meramal dan dia diyakini mendapatkan titah zeus untuk menjadi kekuatan yang akan menjamin tegaknya hukum dan keadilan dalam bangsa manusia. Karena zeus jatuh hati pada themis dan memutuskan untuk menikah dan melahirkan 3 anak perempuan : Eunomia=dewi good govenance, Dike=dewi keadilan, irene=Dewi perdamaian) by syair homer.
Dibanding ilmu hukum, filsafat hukum ternyata hanyalah generasi ketiga
Ilmu hukum, bukan filsafat hukum. Ilmu hukum jauh lebih tua dari filsafat hukum, sebab saya (Herman bakir) telah menemukan alasan untuk mengatakan bahwa bahkan lebih tua dari hukum itu sendiri, gejala kemasyarakatan yang sama tuanya dengan masyarakat (sebab tidak ada masyarakat yang tampa hukum). Ilmu hukum dengan demikian spesialisasi keprofesian dibidang hukum yang paling tua dalam sejarah. Sementara itu filsafat hukum baru bisa hadir ribuan tahun setelahnya, sebagai upaya revolusioner terhadap ketidak berdayaan dan krisis yang melanda ilmu hukum ketika ia divonis gagal dalam membentuk dan menegakkan kaidah dan putusan hukum sebagai suatu yang logis dan konseptual. (diathena sendiri ilmu hukum dua abad lebih tua dari filsafat hukum).
Generasi baru “filssafat merupakan salah satu hasiL dari usaha manusia untuk memperadabkan diri mereka, melampaui dua ribuan tahun, ketika orang mulai merenung sedalam-dalamnya tentang apa artinya menjadi seorang manusia, dan secara perlahan mereka pun sampai pada kesimpulan bahwa mengetahui kebenaran merupakan tujuan yag paling utama dari keseluruhan manusia.
Benih-benih refleksi tradisi kefilsafatan yunani untuk pertama kali tampil dalam lingkup filsafat semesta (alam) hingga pada gilirannya berkumulasi dan memecah kebeberapa lapangan perenungan yang kita kenal hingga hari ini dengan sebutan : filsafat spekulatif (metafisika), logika, filsafat manusia (etika), filsafat politik, filsafat ilmu, filsafat sejarah, hingga ke filsafat hukum.
Hukum adalah sebuah struktur yang didalamnya intuisi dan nalar berkombinasi. Karenanya filsafat hukum merupakan kombinasi dari dua tradisi sebelumnya : mitologi hukum dan ilmu hukum. “ilmu hukum menekanka prioritas tentang telah dijalaninya kehidupan rasional oleh manusia dalam wilayah hukum, sebaliknya mitologi hukum, semata-mata menggambarkan sebuah kehidupan intuituf manusia dalam hukum. Mereka juga terlihat dengan usaha penggambaran anatomi (struktur) dari hukum yang benar (kebenaran dalam hukum) serta apa yang bagi hukum secara universal menjadi hakikat atau pun nilai.
Socrates 469-399 sm “ Kenalilah dirimu sendiri, siapakah kamu ini, manusia yang tak lain adalah makhluk kecil yang tak berpengetahuan ditengah keluasan dan kedalaman semesta yang tak berbatas ini?”
Socrates berpegang teguh bahwa keadilan yang sesungguhnya serta hukum yang benar itu tidak akan ditemui dalam undang-undang yang dibentuk penguasa-penguasa negara ia bertempat tinggal didalam diri dan dalam kesadaran manusia itu sendiri. Sokrates membantah sebuah defenisi hukum yang mengatakan bahwa hukum adalah aturan-aturan yang diundangkan/delegasikan. Dengan megatakan keadilan tidak seperti yang terlihat (sesuatu yang diputuskan secara aktual oleh magistrat dan legislatur), melainkan sesuatu yang (tingkat abstraksinya) melampaui keseluruhan dari apa yang negara dapat lihat sebagai hukum, karena anda harus ingat, bahwa hukum bukanlah apa yang secara umum dituangkan dalam prodak perundang-undangan negara, melainkan apa yang kita (warga masyarakat) anggap (sebagai hukum).
Jon austin abad ke-19 bahwa hukum merupakan aturan apapun yang dikatakan organ-organ pemerintah, lepas dari soal adil tidaknya, sedang pada defenisi yang ketiga ia mengajukan suatu konsepsi moral dalam wilaya hukum bahkan hukum merupakan penuangan ide keadilan yag inheren atau fundamental, socrates mengekploitasi tensi (keterangan) antara kedua kubu pernyataan ini
Plato 428-347 sm” hukum merupakan hasil dari pengolahan pikiran-pikiran manusia dalam cara-cara yang masuk akal dengan kata lain hukum adalah Logismos pikiran yang masuk akal yang dirumuskan dalam putusan negara.
 Aristoteles “hukum merupakan besaran yang menuntut pembedaan dipisahkan” dari (seperangkat aturan) yang diregulasi dan diungkap dalam bentuk konstitusi; yang terkhir ini (konstitusi) merupakan (semata-mata) kewenangan yang diarahkan untuk mengawasi dan mengendalikan perilaku kaum magistrat dalam mengembang mandat, dan menjatuhkan putusan (hukum) pada para pelanggar hukum (orang yang melanggar hukum).

Filsafat hukum dalam memberi warna dalam proses hukum
1.      Hukum harus berlandaskan keadilan.
2.      Penegakan hukum harus pasti, merupakan hal yang suda digelindingkan dalam mitologi yunani, sekalipun itu dalam cara-cara yang sedemikian inplisit.
Filsafat hukum beranjak dan menuju sesuatu yang riil, sedang mitologi beranjak dari dan menuju kepada sesuatu yang fiktif (tidak ada).
Filsafat hukum bertitik tolak dari mitologi menuju ilmu, disebut sebagai proses demitologisasi. Persisnya filsafat hukum mengerjakan demitologisasi, dan pelaku demitologisasi yang paling awal dan paling berpengaruh dalam pengertian yag sesungguhnya.
Berfikirnya seorang filsuf selalu dituntut untuk berfikir mendalam dan berkeluasan, dengan merenungkan mengabstraksikan) gejala-gejala tertentu dalam kontrks hukum yang dilesakkan padanya. Menjadi diri sendiri itulah kata kuncinya bukan hanya mengulang-ngulang teks-teks book yang ada. Tapi mesti ada arah yang mempertimbangkan dan memutuskan secara sistematikal, kritikal, rasional, dan radikal bukan sekedar teksbook.
Pandangan Realisme hukum dan kubu positivisme sama-sama bertitik berat pada isu kepastian hukum, sedangkan mashab feminisme, mashab keadilan teory of justice) ataupun hukum alam justru mngagung-agungkan unsur kedilan dalam hukum. Aliran ini bagus-bagus segingga yang mana paling ekstabel untuk dipelajari dalam konteks keseluruhannya.
Jika terjadi sebuah permasalahan yang oleh kelompok aliran hukum alam atau positifisme hukum dalam hal ini semua tidak bisa mengatasinya maka jalan keluarnya adalah langkah defragmentasi “penjernihan atau naturalisasi” yang berintiakn pada usaha mereduksi “penyederhanaan” mengkombinasikan sejumlah populasi dan aliran-aliran untuk menemukan suatu “generalisasi” yang alami yampa merubah nilai-nilai fundamental yang ada pada metadisiplin itu dalam kontek keseluruhan.    
Secara rinci tahapan defragmentasi yaitu:
1.      Dalam mencari (menemukan) dirinya, filsafat hukum harus terlebih dulu secara jernih melihat bagaimana ia telah melalui masa kanak-kanak hingga tua lalu dari hal ini secara umum harus menemukan lebih dan lebih lagi dirinya, bahkan beserta hukum, dunia dimana ia mengabdikan diri;
2.      Filsafat hukum harus melihat pada pengutamaan aspek universal dan keragaman dari tahapan-tahapan (pencarian) yang kerapkali diikuti tangtangan secara informal dan formal itu, yang memungkinkan sesuatu yang lebih dalam dapat dihadirkan dari kedalamannya;
3.      Pada masing-masing tahapan ini, filsafat hukum dituntut untuk melihat dirinya dengan pandangan yang selalu lebih segar dari sebelumnya.
Retorika hukum Socrates dalam pengadilan
Socrates yang diduga bersalah (kafir) oleh karena menyembah dan mengajarkan tuhan baru (ajaran Musa=agama orang yahudi) selain dari pada dewa-dewa di gunung olympus dan dianggap melakukan kejahatan karena meracuni pikiran pemuda athena untuk meninggalkan tradisi leluhur dan menyembah tuhan lain yang baru.
Beberapa pembelaan Socrates yang dicatat plato dengan judul Apologia :
1)   Satu-satunya hal yang saya sayangkan adalah bahwa saya harus menghadapi maut hanya untuk sebuah kebaikan kecil yang telah saya perjuangkan dan persembahkan untuk kemaslahatan manusia lewat misi filsafat kegenerasi athena. 2) saya ingin kalian semua tahu, jika kalian membunuh manusia seperti saya, sesungguhnya kalian hanya akan melukai (menyiksa) diri kalian sendiri lebih daripada kalian melukai saya. 3) Tak kan ada yang bisa menyiksa saya oleh karena seorang jahat tak pernah bisa melukai orang lain, (presekutor: meletus, anitus, lykon) selain melukai dirinya sendiri.  Bahwa ia menjatuhkan siksa pada orang-orang itu, tetapi saya tidak beranggapan begitu. Sebab jahatnya perbuatan seperti yang ia perbuat-kejahatan yang terinflikasi dari sebuah sikap yang tidak adil telah merampas hidup orang lain-jauh lebih keji ketimbang sekedar melukai. 4) hai warga atena sekalipun saya menyayangi kalian bahkan melebihi diri sendiri tetapi saya lebih mematuhi nilah tuhan yang menciptakan saya. 5) konsep kekuatan dewa semua hanyalah omong kosong. Orang selalu dilarang untk mengerjakan yang ini dan itu, hal inilah yang menghalangi mereka untuk dapat sepenuhnya mencapai kodarat mereka sebagai makhluk politik. (landasan filosofikal kekinian). 6) Praktek pengajaran filsafat tetap akan saya lanjutkan sekalipun kalian mengecam dan memperlakukan saya sebagai penjahat karenanya.   
Dari hal tersebut, sokrates hendak menggariskan bahwa hukum positif, selaku gejalah yang diciptakan oleh bangsa manusia, tetap harus berada dibawah (tunduk kepada) hukum-hukum yang datang dari tuhan. (koteks hukum alam)
Selaku individu manusia, kita senantiasa harus lebih patuh pada apa yang diperintahkan tuhan, ketimabang apa yang dinyatakan oleh manusia sebagai hukum.
Opsi yang diberikan pengadilan pada socrates : 1. Dihukum mati dengan meminim racun, 2. Dibebaskan dari segala tuntutan hukum, dengan syarat menghentikan keseluruhan misi dan praktek pengajaran filsafatnya.
Sokrates lebih memilih meminum racun dipenjara “hukum harus dipatuhi” seberapapun jeleknya. Dan dalam detik terakhir mengatakan ”tidak satu keburukan apapun yang (buruk) dapat terjadi pada seorang manusia yang baik (seperti saya), baik semasa hidup maupun setelah ia mati.
Positivisme hukum
Pengusung positivisme hukum secara umum telah berpegangan pada dua kondisi :
1.      Hanya hukum positiflah yang dapat didentifikasi sebagai aturan hukum; dan dengan hukum positif, kaum positivis mengartikan;
2.      Serangkaian aidah-kaidah prilaku (kaidah masyarakat) yang dimapankan (dikonseptualisasikan dan disistematisasi dengan berlandaskan hukum-hukum penalaran, yang kepatuhannya dapat dipaksakan secarah sah dibawah satu otoritas publik (negara).
Tahapan yang umum dalam penalaran hukum
I.       Pengkualifikasian fakta : lingkup menggelar penelitian (penelusuran) kedalam “fakta-fakta yang hilang” untuk merumuskan sebuah hipotesa tentang fakta dengan mengandalkan seni berfikir abduktif (menelusur balik)  dengan antara lain bersaranakan : keterangan saksi, keterangan ahli, pengakuan, dokumen-dokumen yang relevan, opini hukum dari mereka yang mewakili pihak yang berseteru (surat dakwaan jaksa, pendapat penasehat hukum) dan seterusnya
II.    Tahap adjudikasi : Menemukan, menimbang-nimbang apa hukumnya? Biasanya sebelum menetapkan majelis hakim bermusyawarah disebuah ruang tertutup guna melakukan pertimbangan hukum (berfikir dan menelaah secara cermat) terhadap hipotesis fakta, untuk didedukasikan kedalam aturan umum yang akseptabel baginya.
III. Argumentasi hukum : hasil pertimbangan tadi lalu dimanfaatkanuntuk mengargumentasikan apa yang menjadi hak dan kewajiban para pihak. Argumentasi dalam pengertian ini, melingkupi argumen aturan-aturan umum, kasus yang dihadapi, serta aspek pembuktiannya. Penalaran hukum didukung oleh tugas-tugas berfikir yang melingkupi perumusan argumen, evaluasi argumen, seleksi argumen, putusan pembenaran.
IV. Merumuskan putusan hukum : kumulasi dari argumen-argumen hukum yang sudah dipertimbangkan dengan cermat, berisi tentang apa yang bagi para pihak menjadi hak dan kewajiban-bermaterikan konspirasi argumentatif dari empat elemen.
1.      Aturan-aturan hukum dan asas-asas hukum tertentu selaku evaluator.
2.      Hipotesis fakta : konspirasi fakta-fakta yang valid dan objektif.
3.      Hipotesis aturan hukum, berisi: keluasan dari hak dan kewajiaban dari pihak pihak tertentu.
4.      Semua ke-3 diatas, diwarnai keyakinan hukum, nilai-nilai hukum, dan cita hukum yang dianut hakim.
Ketika positivisme hukum ataupun hukum alam oleh seseorang dipandang sebagai model-model penalaran hukum, maka itu sama halnya dengan mengatakan bahwa seorang hakim, jaksa, pengacara (yang pada esensinya adalah orang yang mengemban ritual penalaran hukum itu sendiri), berarti tak beda halnya dengan seorang filsuf hukum, entah itu filsuf hukum alam ataupun filsuf positivisme hukum. Kekacauan ini mengindikasikan bahwa pendapat merekan yang digelar dalam suasana praktikal, pada dirinya tak lebih dari doktrin-doktrin filsafat hukum, yang pada dasarnya adalah bersemayam dimenara gading. Kekacauan inipun akan membuat orang sampai pada kesimpulan bahwa penalaran hukum bukanlah sebuah praktik hukum, melainkan sekedar refleksi atau spekulasi kefilsafatan tentang apa hukum itu.
Pada periode menimbang apa hukumnya, menalar ini (kemunculan penggalan-penggalan filsafat hukum) yang didominasi oleh upaya “pengsitasian” (penglstrasian) serta peregistrasian fakta-fakta, tidaklah memaksudkan bahwa aktivitas penalaran huku itu sebagai filsafat hukum pada dirinya. Dengan penalaran hukum, masyarakat, hakim, jaksa, pengacara, hanya hendak menjalankan sebuah ilmu hukum, yakni : 1) melancarkan seperangkat argumen yang dalam cara-cara abduktif ”mengatribusikan” keluasan dari hak dan tanggung jawab orang-orang tertentu karena perilakunya, yang terskema dalam aturan-aturan hukum yang relevan. 2) berfikir atributif ini diterapkan pada hipotesis fakta yang telah lebih dahulu dirumuskan dengan memanfaatkan “sistem berfikir mundur” atau reasoning backward.


What is a law or what the law is..?
Dalam menjawa pertanyaan ini, kelompok positif memainkan 2 kriteria formal yakni legalitas dan otoritas. Dengan memanfaatkan ke-2 kriteria ini, what the law is ? yang satu dengan yang lainnya berbeda yakni “positifisme hukum amalgamasional dan positivisme hukum segregasional.
-          Segregasional menunjuk pengertian hukum positif dengan mengusahakan “ruas pemisahan” antara hukum tertulis dan hukum tidak tertulis .
-          Perkataan amalgamasional menunjuk pengertian hukum positif dengan mengusahakan “ruas pengintegrasian” antara hukum tertulis dan hukum tidak tertulis.
Kedua hal ini telah menjelaskan bahwa hukum telah mengambil bentuk positifnya, dengan menjalankan aturan-aturan yang hanya berlaku pada yurisdiksi dan waktu tertentu saja, alias tidak lagi sesuatu berlaku universal.
Dua tradisi besar (hukum alam dan positivisme hukum) yang ada dibenarkan oleh Jules l coleman dan Brian later.
Doktrin hukum alam selalu memuliakan :
-       the real law atau hukum dalam pengertian  yang sesungguhnya adalah hukum alam yang tak sekalipun berevolusi, atau terganggu oleh geraka perubahan sebagai konsekuensi dari berjalannya waktu-ia kekal dan selalu akan tetap begitu dari sejak kali pertama dimunculkan dalam mitologi-mitologi yunani. Ia ada ditempat tersembunyi bersemayam dalam diri manusia sebuah tempat yang paling sensitif yakni “hati Nurani” besaran hukum alam ini membentuk suatu sistem yang disebut sistem kesadaran hukum.
-       Sistem ini diasumsikan memiliki keberlakuan yang kekal, universal, dan tergatikan oleh apapun dan siapapun, dari sejak pertama sang pencipta menetapkannya. Karenanya tiap hukum positif yang bertentangan dengan hati nurani (rasa keadilan dan kebenaran) orang banyak, adalah melawan alam ataupun melawan tuhan sehingga bukan lagi pengertian hukum yang sesungguhnya.
-       Hukum yang sebenar-benarnya hukum adalah hukum yang selaras dengan alam, yang memantulkan kebenaran dan keadilan yang bersemayam dilubuk hati nurani tiap-tiap insan. Hukum ini dalam totalitasnya hanya diketahui oleh sang pencipta, tetapi bebrapa dari orang-orang yang diberkahi munkin dapat menerimanya sebagai hal yang sepenuhnya benar.
Positivisme hukum justru mngatakan : hukum alam itu bukanlah hukum dalam pengertian sesungguhnya. Hal yang akan disebut hukum itu adalah semata-mata hukum positif yang senangtiasa berevolusi menyesuaikan gerak perubahan  dan berjalannya waktu, sebagaimana manusia juga berevolusi dan menyesuaikan diri pada perubahan. Hukum demikian bukan lagi unit-unit dalam derajat abstrak ataupun sesuatu yang berada di dunia intelligible (yang tidak nampak) melainkan sesuatu yang dihasilkan lewat pengalaman inderawi (empirik) manusia, yang dalam keluasan dan kedalamannya semata-mata memperlihatkan karakter yang positif, formal, jelas,  pasti serta dapat mendatangka kehasilgunaan secara praktikal.
Hukum positif merupakan sistem teks-teks otoritatif yang pengertiannya terlingkup dalam dua kubu dari kelompok aturan ini (alam dan Positif). Karenanya hukum yang eksis (h.positif), bukan hanya yang terlingkup kedalam spesies tata perundangan, putusan hakim, melainkan keseluruhan kelompok kaidah (aturan) kemasyarakatan, sepanjang ia memperlihatkan karakteristik mengikat seseorang beserta keseluruhan hak-hak personalnya, dimana tiap orang mengklaim sebagai yang memilikinya.
Konsep tentang tidak adanya keharusan untuk mematuhi hukum
Alasan-alasan untuk tidam melakukan pelanggaran hukum (membunuh, memperkosa, menganiaya atau mencuri) secara jelas suda memilki relasi dengan aturan-aturan hukum sepenuhnya karena seseorang bergantung pada kondisi bahwa perbuatan-perbuatan semacam itu, adalah hal yang betentangan dari sudut kehendak atau kepentingan atau hak-hak moral dari orang-orang lain.
Bahwa “orang harus berperilaku sebagaimana yang diharuskan oleh hukum” sementara itu, alasan-alasan yang digunakan diatas tidak membutuhkan kesamaan, bahwa untuk tiap orang atau untuk tiap peristiwa, alasan itu bisa berbeda, tetapi dalam konteks ini, mereka harus menjadi generalitas  yang memadai, sehingga beberapa perangkat pertimbangan berciri umum akan dapat diaplikasikan terhadap keseluruhan orang dan keseluruhan peristiwa aktual yuridikal.
Kepatuhan muncul bukan sebagai konsekuensi karena hukum yang menakutkan kita dengan sanksinya yang pedih untuk abstain dari tindakan pelanggaran hukum (membunuh, memperkosa, menganiaya atau mencuri) soal hukum yang melarangnya itu orang suda tahu, tapi bukan itu yang menjadi alasan kenapa saya tidak membunuh dll.
Perasaan Keadilan
Aristoteles dengan konsep keadilan korektif. Bahwa keadilan adalah hal yang selalu berdekatan dengan usaha merestorasi (keadaan pemulihan) untuk mengembalikan suasana akuilibrium (keseimbangan) yang terganggu (disturbed). Pihak pengambil keputusan hanya akan berlaku adil (setimbang) pada partisan-partisan hukum dalam beberapa kondisi tertentu :
1.      Manakala ia melakukan investigasi terhadap karakter kerugian yang terjadi;
2.      Manakala ia melakukan pencarian guna menyeimbangkan keadaan-keadaan yang terganggu tadi, dengan menjatuhkan (pengadaan) sanksi yang harus diambil dalam cara-cara “menyakitkan” kejam. Dan
3.      Akan menghitung secara adil, serta menagih tanggung jawab atas tiap penderitaan ataupun kerugian yang oleh pelaku ditimbulkan karena perbuatan-perbuatan melawan hukum yang dilakukannya.
Karenanyalah pengertian keadilan yang seharusnya adalah :
1.      Keadilan adalah penerapan hukuman (sanksi) dalam cara-cara yang pasti untuk menebus tiap tindak kejahatan pidana;
2.      Keadilan adalah pemulihan melalui ganti rugi yang diarahkan untuk menebus tiap-tiap wanprestasi.
3.      Keadilan akan berarti bahwa hal kerugian dan kerugian secara ekonomi yang diderita lantaran perbuatan yang dikategorikan melawan hukum yang diarahkan untuk menutupi tingkat kerugian dan kerusakan itu sendiri.
Ada tiga episode transformasi paradigmatik momen pemngembangan dan pematangan prilaku manusia dalam mpersepsikan hukum sebagai produk kesejarahan.
1.      Periode pra-filsafat hukum (era ilmu hukum dan mitologi yunani) .
2.      Periode filsafat hukum. Periode yunani hingga pada periode pasca yunani yakni peristiwa memutuskan mata rantai dan muncul perkembangan baru yang disebut “positinisme hukum”
3.      Periode pasca-filsafat hukum. Dalam periode ini ditandai dengan menurunnya ketertarikan orang pada filsafat hukum, dan mulai berali pada bidang-bidang ilmu yang diturunkan dari ilmu itu sendiri, yang lebih merepresentasikan semangat fragmatisme yang semata-mata lebih berpihak pada aspek formal atau praktikal dari hukum.
Demikian
Wassalamun alaikum Wr-wb