FILSAFAT HUKUM
DESAIN DAN
ARSITEKTUR KESEJARAHAN
(HERMAN BAKIR,
SH.,MH.)
Tiga orang yang menjadi legenda dunia seperti karl
Friedric Nietsche dengan Thus spake
Zarathustra-nya yang sangat termasyur, Immanuel kant dengan The Critique of pure reason, Serta Hans
Kalsen dengan The pure Theory of law. Ketinganya dianggap memberi guncangan
yang sagat dasyhat di abad ke-20 oleh Penulis buku Filsafat hukum, desain dan arsitektur kesejarahan yang kami
resumekan ini.
Defragmentasi dalam pengembangan filsafat hukum, “sejarah
filsafat hukum” hanya akan terlibat dalam pengintegrasian pada dua keompok
besar, yaitu hukum alam dan positifisme
hukum. Filsafat hukum sudah mengusahakan jalan keluar bagi beragam persoalan
dan masalah pengkumulasiannya. Tentunya sambil terus mengembangkan diri dan
mempertegas kemandiriannya sebagai suatu autonomoaus
discipline (disiplin yang mandiri) dari filsafat umum sebagai induknya,
lepas dari segala kompleksitas yang demikian lekat melingkupinya. Namun bahaya
dari pemandirian ini adalah bahwa hubungannya dengan filsafat umum dan
cabang-cabang baru dari filsafat lainnya bisa saja terancam terputus.
Dalam prolog buku sejarah filsafat desain dan arsitektur
kesejarahan ini, disebutkan ada tiga objek inperatif filsafat hukum.
1. Takkalah yang hendak digelindingkan adalah sebuah filsafat hukum, maka pada pandangan
yang sangat pertama kita akan singga diperkampungan mitologi yang meritmekan
hukum dalam syair-syair tua yunani tuan
Homer, tuan hesiodes serta ahli warisnya yang mengusahakan revolusi dalam
dunia sastra dan fiksi. Ini adalah kunci
untuk masuk kedalam dunia filsafat hukum. Jika itu adalah “ilmu hukum” (tehnik
praktikal hukum), maka tak ada yang bisa diartikulasikan selain memasyurkan
ide-ide pragmatikal bangsa-bangsa roma, karena bangsa roma memutakhirkan pola
pikir ilmu hukum konvensional kedalam sebuah tradisi berfikir yuridis yang
logikal, terkonseptualisasi, dan tersistematisasi. Namun jika ia adalah sebuah Teory hukum kita akan slalu berfikir
tantang keduanya, dan hans kalsen secara cemerlang telah melakukan kombinasi
pada keduanya dalam ide positivisme
sebagai salahsatu dari dua aliran induk beserta ruas-ruas pengkumulasiannya
berkedudukan ditengah-tengah, antara yunani dan roma. Dan ketika filsafat hukum adalah ungkapan dunia maka ia berada pada
derajat tertinggi bahasa universal yang juga dihubungkan dengan konsep tertentu
mengenainya, sebagaimana halnya konsep-konsep itu ditransmisikan kedalam
aturan-aturan umum untuk mengabduksikan sensasi-sensasi yuridikal tertentu yang
bertempramen sangat spesifik.
2. Manakala filsafat
hukum ketataran kompetisi ilmu-ilmu normal, maka ia adalah poduk sejarah
ilmu. Dalam konteksnya filsafat hukm menjalani kesejarahannya yang karena ia
telah mewarnai dan diwarnai kesejarahan ilmu-ilmu. Ia memiliki bentuk lampau,
bentuk searang dan bentuk masa depan.
3. Sejarah filsafat
hukum dapat dikatakan makam para
filsuf. Yang dekat batu nisannya bersandar sejumlah aliran-aliran yang
ditorehkan pada sejarah pohon filsafat hukum. Dimana sejarah ini seperti diawal
penulisan ini bahwa dari aliran-aliran itu terakumulasi kedalam dua paradigma
terkuat dan terbesar dalam peradaban hukum manusia yaitu hukum alam dan Positivisme hukum.
Hukum alam mempertahankan sikap yang otonom dalam meritualkan
aktifitas berfikir yuridis atau memuliakan sesuatu yang eksis diluar kodifikasi
(baca: konsep keadilan yang berlandaskan pada hati nurani).
Positivisme
hukum mengusulkan sikap yang
heteronom yang memberhalakan kodifikasi, yang pada masing-masingnya saling
bersitegang dan melemahkan.
Dua konsep ini berkumulasi kedalam berbagai doktrin
disejumlah aliran yang terpecah-pecah inipin berusaha mengungkap beragam hal
yang sama (ide tertingimengenai hukum) dalam persfektif yang berbeda sehingga analogi-lah yang dimunkinkan melihat
hubungan antara mereka pada masing-masingnya, atau pengetahuan tentang analogi
itu sendiri, terutama ketika kita merasa berkepentingan dengannya. Turun dan
berakumulasinya berbagai aliran melalui pengembangan dua konfigurasi
inidoktrinal yang induk ini, menandakan betapa filsafat hukum telah memekarka
diri dan memperdalam dirinya dalam cara-cara yang kumulatif, tidak
revolusioner.
Dari keseluruhan aliran dan kumulasi itu meberi andil
bagi lahirnya sejumlah bidang ilmu yang mnggelar study atas hukum ;
a. Ilmu hukum roma pada abad ke-4
b. Allgemeine rechtlehre (ajaran hukum Umum) abad ke-18 di
jerman dan inggris,
c. Rechtheorie (teori hukum) abad ke-19 di austria dan
belgia. Begitulah seteresnya hingga kemunculan sosiologi hukum, psikologi
hukum, antropologi hukum, kedokteran forensik, dan teoretikal yang paling tua
yang dalam segenap keagungan dan kemudian telah berevolusi dan memekarkan diri,
yaitu filsafat hukum.
Era peradaban
hukum
Pergulatan pemikiran tentang penciptaan bumi dan siapa
yang menciptakan atau hanya terjadi seperti teory big bang incident (supernova)
selama bermilyar-milyar tahun yang lalu hanyalah rangkaian spekulasi atau
sejumlah pendapat yang tahap perumusannya tidak didasarkan pada informasi atau
fakta yang sepenuhnya akurat alias utuh. Dunia spekulasi dan atau dunia
kenyataan jika diperhadapkan pada bagaimana karakteristik suatu ilmu yang
ilmiah positif yang ditandai dengan selalu berangkat dari fakta yang kongkrit
bukan spekulasi yang bermaian didalam atau dibelakang pikiran dan imajinasi
dari penstudi bersangkutan, dengan ini akan meragukan spekulasi geologi atas
kesahihan dan konsistensi penalarannya.
Dimana terdapat masyarakat (peradaban), konflik
kepentingan pun berpotensi muncul, begitu juga dimana terjadi konflik hukum pun
akan muncul menawarkan penyelesaian dari sini dilihat bahwa sejak dulu hukum
telah mendudukkan dirinya sebagai forum atau instrumen prominental dalam
ruas-ruas penyelesaian konflik-konflik kepentingan yang mencul ditengah-tengah
peradaban manusia (subyek hukum). Konflik adalah sebuah fakta yang tidak dapat
ditolak sebagai bagian dari masyrakat dan ini akan terus terjadi selama
orang-orang hidup dalam masyrakat. (ubi societi ibi jus=dimana ada
masyarakat/peradaban disitu ada hukum)
Yang dapat diperhatikan adalah
1.
Tampa hukum, tidak
akan perna ada yang namanya masyarakat.
2.
Manusia,
masyarakat, konflik dan hukum merupakan kesatuan yang tidak dapat ipisahkan.
Kominitas-komunitas primitif 2300-an SM. Era belum
terpikirnya ide tentag institusi pengadilan/legislatur (kodifikasi hukum) = masyarakat
pra modern=masyarakat primitif = masyarakat sangat sederhana yang membangun
peradaban disepanjang tepian sungai tigris, nill, eufrat, maupun indus
terlingkup dalam aturan adat kesukuan dalam terminologi kebiasaan yang
dibiasakan yang ditiru dan diterima dalam komunitas sehingga mereka mengakuinya
sebagai hukum.
Dalam periode ini dan yang sampai sekarang juga berlaku
bahwa sesuatu itu hanya akan disebut hukum jika :
1.
Ia dapat dirasakan
dan dianggap menimbulkan kewajiban disatu pihak dan hak-hak dipihak yang lain.
2.
Mengkonsekuensikan
sanksinegatif dan sanksi positif berdasar pada tngkat kejiwaan yang dianut.
3.
Adanya
mekanisme/cara kerja kekuatan mengikat ini yang hendak mengikatkan dirinya
dalam relasi intersubjektif masyarakat bersangkutan-kekuatan mengikat itu
dengan digelarnya upacara-upacara tertentu, sebab dengan menyelenggarakan
upacara semacam ini, berarti umum mengetahui dan terbuka menyatakan
pandangan-pandagan mereka.
Sebelas
kodifikasi simponikal (tertua)
Sebelas
kodifikasi simponikal (tertua)
Kodifikasi (ius scriptum) adalah sejumlah teks-teks tua
otoritatif, penuangan aturan-aturan hukum kedalam bentuk tertulis yang
dimuliakan oleh kaum positivis, dalam teory hukum ini adalah kompilasi
sistematikal dan konseptual dari kehend bagian selatan.ak-kehendak yuridis,
yang didalamnya antara lain terlingkup asas dan kaidah-kaidah yang diformulasi
dalam bentuk tertulis.
1.
Kodifikasi urukagina
: terjadi dalam rentang 2360-2350 SM. Dinegeri lagash kota kuno disumeria,
mesopotamia era kaisar gudea.
2.
Kodifikasi sargon :
terjadi dalam rentang 2335-2279 SM. Dengan penguasa kaisar sargon I pada bangsa
akkadia.
3.
Kaisar UR-nammu:
2100 SM oelh kaisar UR nammu di sumeria, lembah sungai eufrat sekarang siria.
4.
Kodifikasi
Lipit-Ihstar : 1930 SM. Sekarang Turki.
5.
The earliest know
legal Decision (putusan pengadilan yang paling awal) : 1850 SM ditemukan
putusan yang diabadikan disebuah tanah liat yang berisi tentang ketetapan hakim
atas kasus pembunuhan.
6.
Kodifikasi
Hammurabi : periode pra atenha (pra draco) : 1792-1750 SM. Kaisar hammurabi.
Bangsa babilonia, asia barat daya lembah sungai tigris dalam teritory irak, dan
sungai eufrat dalam teritory Syriah.
7.
The Ten commandment
: 1300 SM. Munculnya kodifikasi murni yang dianggap sebagai wahyu dari tuhan
yang diturunkan kepada musa as. Dalam terminologi inggris berdasar kitab suci
injil umat kristiani.
8.
Kodifikasi Manu :
India 1280-880 SM. Di india.
9.
Kodifikasi Assyria
tengah : sekarang irak 1200 SM
10. Kodifikasi Hukum bangsa Israil: bangsa yahudi, kodifikasi
yang diturungkan oleh tuhan kepada orang-orang terpilih (nabi), dalam 5 buku
pertama dalam perjanjian lama yang disebut taurat.961-922 Sm kaisar sulaiman
yang memerintah israil kuno. Berdasrkan perjanjian baru era kaisar judea
(yahudi).
11. Kodifikasi Hittite: asia kecil dan siriya abad ke-13 SM,
kaisar telephinus
Selain ke sebelas kodifikasi diatas adalah terdapat
kodifikasi kuno yang lain setelahnya yaitu : kodifikasi draco: 621 SM,
Kodifikasi Lycergus: 600 SM, Kodifikasi Solon: 550 SM, The Book Of Fhunishment:536
SM, Kodifikasi Duabelas Meja:450 SM, kodivikasi Lik-vei cina 350 SM, Kodifikasi
Justinianus: 529 M, the eventeen article Constitucion of japan: 604 M,
Kodifikasi T-ang: 653 M, Fhingerprinting is invented : 700, First Law School
:1100, Magna charta:1215.
Mitologi Gerbang
Alam Filsafat Hukum
Kelompok mitilogi di yunani yaitu saga, legenda,
folktailes(cerita rakyat). Dengan mitologi akan dapat mereka pahami tentang
pertanyaan dasar hidup seperti :
1.
Bagaimana alam ini
berasal mula;
2.
Bagaimana spesies
manusia dan hewan bisa sampai hadir keatas permukaan bumi;
3.
Bagaimana kebiasaan
tertentu, gestur-gestur serta bentuk-bentuk yang paling awal dari manusia;
4.
Bagaimana sanga
pencipta dan makhluk ciptaannya, melakukan relasi timbal-balik (interaksi).
Pentingnya mempelajari mitilogi yunani sebab mitologi
merupakan kunci dari alam perenungan filsafat hukum, namun orang bisa saja
membantah itu, dengan mngatakan mitologi bukanlah filsafat hukum atau dia dari
demitologisasi. Tapi tak dapat dipungkiri, mitologi merupakan alasan dari
hadirnya filsafat hukum ketengah-tengah peradaban barat.
Dewi Themis dan hubungannya dengan situs penegakan hukum
dan keadilan datang dari bangsa dewa (pasangan Dewa langit auronos dengan gaea
dewi bumi) dengan kemampuan meramal dan dia diyakini mendapatkan titah zeus untuk
menjadi kekuatan yang akan menjamin tegaknya hukum dan keadilan dalam bangsa
manusia. Karena zeus jatuh hati pada themis dan memutuskan untuk menikah dan
melahirkan 3 anak perempuan : Eunomia=dewi good govenance, Dike=dewi keadilan,
irene=Dewi perdamaian) by syair homer.
Dibanding ilmu
hukum, filsafat hukum ternyata hanyalah generasi ketiga
Ilmu hukum, bukan filsafat hukum. Ilmu hukum jauh lebih
tua dari filsafat hukum, sebab saya (Herman bakir) telah menemukan alasan untuk
mengatakan bahwa bahkan lebih tua dari hukum itu sendiri, gejala kemasyarakatan
yang sama tuanya dengan masyarakat (sebab tidak ada masyarakat yang tampa
hukum). Ilmu hukum dengan demikian spesialisasi keprofesian dibidang hukum yang
paling tua dalam sejarah. Sementara itu filsafat hukum baru bisa hadir ribuan
tahun setelahnya, sebagai upaya revolusioner terhadap ketidak berdayaan dan
krisis yang melanda ilmu hukum ketika ia divonis gagal dalam membentuk dan
menegakkan kaidah dan putusan hukum sebagai suatu yang logis dan konseptual.
(diathena sendiri ilmu hukum dua abad lebih tua dari filsafat hukum).
Generasi baru “filssafat merupakan salah satu hasiL dari usaha manusia
untuk memperadabkan diri mereka, melampaui dua ribuan tahun, ketika orang mulai
merenung sedalam-dalamnya tentang apa artinya menjadi seorang manusia, dan
secara perlahan mereka pun sampai pada kesimpulan bahwa mengetahui kebenaran
merupakan tujuan yag paling utama dari keseluruhan manusia.
Benih-benih refleksi tradisi kefilsafatan yunani untuk
pertama kali tampil dalam lingkup filsafat semesta (alam) hingga pada
gilirannya berkumulasi dan memecah kebeberapa lapangan perenungan yang kita
kenal hingga hari ini dengan sebutan : filsafat spekulatif (metafisika),
logika, filsafat manusia (etika), filsafat politik, filsafat ilmu, filsafat
sejarah, hingga ke filsafat hukum.
Hukum adalah sebuah struktur yang didalamnya intuisi dan
nalar berkombinasi. Karenanya filsafat hukum merupakan kombinasi dari dua
tradisi sebelumnya : mitologi hukum dan ilmu hukum. “ilmu hukum menekanka
prioritas tentang telah dijalaninya kehidupan rasional oleh manusia dalam
wilayah hukum, sebaliknya mitologi hukum, semata-mata menggambarkan sebuah
kehidupan intuituf manusia dalam hukum. Mereka juga terlihat dengan usaha
penggambaran anatomi (struktur) dari hukum yang benar (kebenaran dalam hukum)
serta apa yang bagi hukum secara universal menjadi hakikat atau pun nilai.
Socrates 469-399 sm “ Kenalilah dirimu sendiri, siapakah
kamu ini, manusia yang tak lain adalah makhluk kecil yang tak berpengetahuan
ditengah keluasan dan kedalaman semesta yang tak berbatas ini?”
Socrates berpegang teguh bahwa keadilan yang sesungguhnya
serta hukum yang benar itu tidak akan ditemui dalam undang-undang yang dibentuk
penguasa-penguasa negara ia bertempat tinggal didalam diri dan dalam kesadaran
manusia itu sendiri. Sokrates membantah sebuah defenisi hukum yang mengatakan
bahwa hukum adalah aturan-aturan yang diundangkan/delegasikan. Dengan megatakan
keadilan tidak seperti yang terlihat (sesuatu yang diputuskan secara aktual
oleh magistrat dan legislatur), melainkan sesuatu yang (tingkat abstraksinya)
melampaui keseluruhan dari apa yang negara dapat lihat sebagai hukum, karena
anda harus ingat, bahwa hukum bukanlah apa yang secara umum dituangkan dalam
prodak perundang-undangan negara, melainkan apa yang kita (warga masyarakat) anggap
(sebagai hukum).
Jon austin abad ke-19 bahwa hukum merupakan aturan apapun
yang dikatakan organ-organ pemerintah, lepas dari soal adil tidaknya, sedang
pada defenisi yang ketiga ia mengajukan suatu konsepsi moral dalam wilaya hukum
bahkan hukum merupakan penuangan ide keadilan yag inheren atau fundamental,
socrates mengekploitasi tensi (keterangan) antara kedua kubu pernyataan ini
Plato 428-347 sm” hukum merupakan hasil dari pengolahan
pikiran-pikiran manusia dalam cara-cara yang masuk akal dengan kata lain hukum
adalah Logismos pikiran yang masuk akal yang dirumuskan dalam putusan negara.
Aristoteles “hukum
merupakan besaran yang menuntut pembedaan dipisahkan” dari (seperangkat aturan)
yang diregulasi dan diungkap dalam bentuk konstitusi; yang terkhir ini
(konstitusi) merupakan (semata-mata) kewenangan yang diarahkan untuk mengawasi
dan mengendalikan perilaku kaum magistrat dalam mengembang mandat, dan
menjatuhkan putusan (hukum) pada para pelanggar hukum (orang yang melanggar
hukum).
Filsafat hukum
dalam memberi warna dalam proses hukum
1.
Hukum harus
berlandaskan keadilan.
2.
Penegakan hukum
harus pasti, merupakan hal yang suda digelindingkan dalam mitologi yunani,
sekalipun itu dalam cara-cara yang sedemikian inplisit.
Filsafat hukum beranjak dan menuju sesuatu yang riil,
sedang mitologi beranjak dari dan menuju kepada sesuatu yang fiktif (tidak
ada).
Filsafat hukum bertitik tolak dari mitologi menuju ilmu,
disebut sebagai proses demitologisasi. Persisnya filsafat hukum mengerjakan
demitologisasi, dan pelaku demitologisasi yang paling awal dan paling
berpengaruh dalam pengertian yag sesungguhnya.
Berfikirnya seorang filsuf selalu dituntut untuk berfikir
mendalam dan berkeluasan, dengan merenungkan mengabstraksikan) gejala-gejala
tertentu dalam kontrks hukum yang dilesakkan padanya. Menjadi diri sendiri
itulah kata kuncinya bukan hanya mengulang-ngulang teks-teks book yang ada.
Tapi mesti ada arah yang mempertimbangkan dan memutuskan secara sistematikal,
kritikal, rasional, dan radikal bukan sekedar teksbook.
Pandangan Realisme hukum dan kubu positivisme sama-sama
bertitik berat pada isu kepastian hukum, sedangkan mashab feminisme, mashab
keadilan teory of justice) ataupun hukum alam justru mngagung-agungkan unsur
kedilan dalam hukum. Aliran ini bagus-bagus segingga yang mana paling ekstabel
untuk dipelajari dalam konteks keseluruhannya.
Jika terjadi
sebuah permasalahan yang oleh kelompok aliran hukum alam atau positifisme hukum
dalam hal ini semua tidak bisa mengatasinya maka jalan keluarnya adalah langkah
defragmentasi “penjernihan atau naturalisasi” yang berintiakn pada usaha
mereduksi “penyederhanaan” mengkombinasikan sejumlah populasi dan aliran-aliran
untuk menemukan suatu “generalisasi” yang alami yampa merubah nilai-nilai
fundamental yang ada pada metadisiplin itu dalam kontek keseluruhan.
Secara rinci
tahapan defragmentasi yaitu:
1.
Dalam mencari
(menemukan) dirinya, filsafat hukum harus terlebih dulu secara jernih melihat
bagaimana ia telah melalui masa kanak-kanak hingga tua lalu dari hal ini secara
umum harus menemukan lebih dan lebih lagi dirinya, bahkan beserta hukum, dunia
dimana ia mengabdikan diri;
2.
Filsafat hukum
harus melihat pada pengutamaan aspek universal dan keragaman dari
tahapan-tahapan (pencarian) yang kerapkali diikuti tangtangan secara informal
dan formal itu, yang memungkinkan sesuatu yang lebih dalam dapat dihadirkan
dari kedalamannya;
3.
Pada masing-masing
tahapan ini, filsafat hukum dituntut untuk melihat dirinya dengan pandangan
yang selalu lebih segar dari sebelumnya.
Retorika hukum
Socrates dalam pengadilan
Socrates yang diduga bersalah (kafir) oleh karena
menyembah dan mengajarkan tuhan baru (ajaran Musa=agama orang yahudi) selain
dari pada dewa-dewa di gunung olympus dan dianggap melakukan kejahatan karena
meracuni pikiran pemuda athena untuk meninggalkan tradisi leluhur dan menyembah
tuhan lain yang baru.
Beberapa pembelaan Socrates yang dicatat plato dengan
judul Apologia :
1) Satu-satunya hal yang saya sayangkan adalah bahwa saya
harus menghadapi maut hanya untuk sebuah kebaikan kecil yang telah saya
perjuangkan dan persembahkan untuk kemaslahatan manusia lewat misi filsafat
kegenerasi athena. 2) saya ingin kalian semua tahu, jika kalian membunuh
manusia seperti saya, sesungguhnya kalian hanya akan melukai (menyiksa) diri
kalian sendiri lebih daripada kalian melukai saya. 3) Tak kan ada yang bisa
menyiksa saya oleh karena seorang jahat tak pernah bisa melukai orang lain, (presekutor:
meletus, anitus, lykon) selain melukai dirinya sendiri. Bahwa ia menjatuhkan siksa pada orang-orang
itu, tetapi saya tidak beranggapan begitu. Sebab jahatnya perbuatan seperti
yang ia perbuat-kejahatan yang terinflikasi dari sebuah sikap yang tidak adil
telah merampas hidup orang lain-jauh lebih keji ketimbang sekedar melukai. 4)
hai warga atena sekalipun saya menyayangi kalian bahkan melebihi diri sendiri
tetapi saya lebih mematuhi nilah tuhan yang menciptakan saya. 5) konsep
kekuatan dewa semua hanyalah omong kosong. Orang selalu dilarang untk
mengerjakan yang ini dan itu, hal inilah yang menghalangi mereka untuk dapat
sepenuhnya mencapai kodarat mereka sebagai makhluk politik. (landasan
filosofikal kekinian). 6) Praktek pengajaran filsafat tetap akan saya lanjutkan
sekalipun kalian mengecam dan memperlakukan saya sebagai penjahat karenanya.
Dari hal tersebut, sokrates hendak menggariskan bahwa
hukum positif, selaku gejalah yang diciptakan oleh bangsa manusia, tetap harus
berada dibawah (tunduk kepada) hukum-hukum yang datang dari tuhan. (koteks
hukum alam)
Selaku individu manusia, kita senantiasa harus lebih
patuh pada apa yang diperintahkan tuhan, ketimabang apa yang dinyatakan oleh
manusia sebagai hukum.
Opsi yang diberikan pengadilan pada socrates : 1. Dihukum
mati dengan meminim racun, 2. Dibebaskan dari segala tuntutan hukum, dengan
syarat menghentikan keseluruhan misi dan praktek pengajaran filsafatnya.
Sokrates lebih memilih meminum racun dipenjara “hukum
harus dipatuhi” seberapapun jeleknya. Dan dalam detik terakhir mengatakan ”tidak satu keburukan apapun yang (buruk)
dapat terjadi pada seorang manusia yang baik (seperti saya), baik semasa hidup
maupun setelah ia mati.
Positivisme
hukum
Pengusung positivisme hukum secara umum telah berpegangan
pada dua kondisi :
1.
Hanya hukum
positiflah yang dapat didentifikasi sebagai aturan hukum; dan dengan hukum
positif, kaum positivis mengartikan;
2.
Serangkaian
aidah-kaidah prilaku (kaidah masyarakat) yang dimapankan (dikonseptualisasikan
dan disistematisasi dengan berlandaskan hukum-hukum penalaran, yang
kepatuhannya dapat dipaksakan secarah sah dibawah satu otoritas publik
(negara).
Tahapan yang
umum dalam penalaran hukum
I.
Pengkualifikasian fakta : lingkup menggelar penelitian (penelusuran) kedalam
“fakta-fakta yang hilang” untuk merumuskan sebuah hipotesa tentang fakta dengan
mengandalkan seni berfikir abduktif (menelusur balik) dengan antara lain bersaranakan : keterangan
saksi, keterangan ahli, pengakuan, dokumen-dokumen yang relevan, opini hukum
dari mereka yang mewakili pihak yang berseteru (surat dakwaan jaksa, pendapat
penasehat hukum) dan seterusnya
II.
Tahap adjudikasi :
Menemukan, menimbang-nimbang apa hukumnya? Biasanya sebelum menetapkan majelis
hakim bermusyawarah disebuah ruang tertutup guna melakukan pertimbangan hukum (berfikir
dan menelaah secara cermat) terhadap hipotesis fakta, untuk didedukasikan
kedalam aturan umum yang akseptabel baginya.
III. Argumentasi
hukum : hasil pertimbangan tadi lalu
dimanfaatkanuntuk mengargumentasikan apa yang menjadi hak dan kewajiban para pihak.
Argumentasi dalam pengertian ini, melingkupi argumen aturan-aturan umum, kasus
yang dihadapi, serta aspek pembuktiannya. Penalaran hukum didukung oleh
tugas-tugas berfikir yang melingkupi perumusan argumen, evaluasi argumen,
seleksi argumen, putusan pembenaran.
IV. Merumuskan
putusan hukum : kumulasi dari
argumen-argumen hukum yang sudah dipertimbangkan dengan cermat, berisi tentang
apa yang bagi para pihak menjadi hak dan kewajiban-bermaterikan konspirasi
argumentatif dari empat elemen.
1.
Aturan-aturan hukum
dan asas-asas hukum tertentu selaku evaluator.
2.
Hipotesis fakta :
konspirasi fakta-fakta yang valid dan objektif.
3.
Hipotesis aturan
hukum, berisi: keluasan dari hak dan kewajiaban dari pihak pihak tertentu.
4.
Semua ke-3 diatas,
diwarnai keyakinan hukum, nilai-nilai hukum, dan cita hukum yang dianut hakim.
Ketika
positivisme hukum ataupun hukum alam oleh seseorang dipandang sebagai
model-model penalaran hukum, maka itu sama halnya dengan mengatakan bahwa
seorang hakim, jaksa, pengacara (yang pada esensinya adalah orang yang
mengemban ritual penalaran hukum itu sendiri), berarti tak beda halnya dengan
seorang filsuf hukum, entah itu filsuf hukum alam ataupun filsuf positivisme
hukum. Kekacauan ini mengindikasikan bahwa pendapat merekan yang digelar dalam
suasana praktikal, pada dirinya tak lebih dari doktrin-doktrin filsafat hukum,
yang pada dasarnya adalah bersemayam dimenara gading. Kekacauan inipun akan
membuat orang sampai pada kesimpulan bahwa penalaran hukum bukanlah sebuah
praktik hukum, melainkan sekedar refleksi atau spekulasi kefilsafatan tentang
apa hukum itu.
Pada periode menimbang apa hukumnya, menalar ini
(kemunculan penggalan-penggalan filsafat hukum) yang didominasi oleh upaya
“pengsitasian” (penglstrasian) serta peregistrasian fakta-fakta, tidaklah
memaksudkan bahwa aktivitas penalaran huku itu sebagai filsafat hukum pada
dirinya. Dengan penalaran hukum, masyarakat, hakim, jaksa, pengacara, hanya hendak
menjalankan sebuah ilmu hukum, yakni : 1) melancarkan seperangkat argumen yang
dalam cara-cara abduktif ”mengatribusikan” keluasan dari hak dan tanggung jawab
orang-orang tertentu karena perilakunya, yang terskema dalam aturan-aturan
hukum yang relevan. 2) berfikir atributif ini diterapkan pada hipotesis fakta
yang telah lebih dahulu dirumuskan dengan memanfaatkan “sistem berfikir mundur”
atau reasoning backward.
What is a law
or what the law is..?
Dalam menjawa pertanyaan ini, kelompok positif memainkan
2 kriteria formal yakni legalitas dan otoritas. Dengan memanfaatkan ke-2
kriteria ini, what the law is ? yang satu dengan yang lainnya berbeda yakni
“positifisme hukum amalgamasional dan positivisme hukum segregasional.
-
Segregasional
menunjuk pengertian hukum positif dengan mengusahakan “ruas pemisahan” antara
hukum tertulis dan hukum tidak tertulis .
-
Perkataan
amalgamasional menunjuk pengertian hukum positif dengan mengusahakan “ruas
pengintegrasian” antara hukum tertulis dan hukum tidak tertulis.
Kedua hal ini telah menjelaskan bahwa hukum telah
mengambil bentuk positifnya, dengan menjalankan aturan-aturan yang hanya
berlaku pada yurisdiksi dan waktu tertentu saja, alias tidak lagi sesuatu
berlaku universal.
Dua tradisi besar (hukum alam dan positivisme hukum) yang
ada dibenarkan oleh Jules l coleman dan Brian
later.
Doktrin hukum alam selalu memuliakan :
-
the real law atau
hukum dalam pengertian yang sesungguhnya
adalah hukum alam yang tak sekalipun berevolusi, atau terganggu oleh geraka perubahan
sebagai konsekuensi dari berjalannya waktu-ia kekal dan selalu akan tetap
begitu dari sejak kali pertama dimunculkan dalam mitologi-mitologi yunani. Ia
ada ditempat tersembunyi bersemayam dalam diri manusia sebuah tempat yang
paling sensitif yakni “hati Nurani” besaran hukum alam ini membentuk suatu
sistem yang disebut sistem kesadaran hukum.
-
Sistem ini
diasumsikan memiliki keberlakuan yang kekal, universal, dan tergatikan oleh
apapun dan siapapun, dari sejak pertama sang pencipta menetapkannya. Karenanya
tiap hukum positif yang bertentangan dengan hati nurani (rasa keadilan dan
kebenaran) orang banyak, adalah melawan alam ataupun melawan tuhan sehingga
bukan lagi pengertian hukum yang sesungguhnya.
-
Hukum yang
sebenar-benarnya hukum adalah hukum yang selaras dengan alam, yang memantulkan
kebenaran dan keadilan yang bersemayam dilubuk hati nurani tiap-tiap insan.
Hukum ini dalam totalitasnya hanya diketahui oleh sang pencipta, tetapi bebrapa
dari orang-orang yang diberkahi munkin dapat menerimanya sebagai hal yang
sepenuhnya benar.
Positivisme hukum justru mngatakan : hukum alam itu
bukanlah hukum dalam pengertian sesungguhnya. Hal yang akan disebut hukum itu
adalah semata-mata hukum positif yang senangtiasa berevolusi menyesuaikan gerak
perubahan dan berjalannya waktu,
sebagaimana manusia juga berevolusi dan menyesuaikan diri pada perubahan. Hukum
demikian bukan lagi unit-unit dalam derajat abstrak ataupun sesuatu yang berada
di dunia intelligible (yang tidak nampak) melainkan sesuatu yang dihasilkan
lewat pengalaman inderawi (empirik) manusia, yang dalam keluasan dan
kedalamannya semata-mata memperlihatkan karakter yang positif, formal,
jelas, pasti serta dapat mendatangka
kehasilgunaan secara praktikal.
Hukum positif merupakan sistem teks-teks otoritatif yang
pengertiannya terlingkup dalam dua kubu dari kelompok aturan ini (alam dan
Positif). Karenanya hukum yang eksis (h.positif), bukan hanya yang terlingkup
kedalam spesies tata perundangan, putusan hakim, melainkan keseluruhan kelompok
kaidah (aturan) kemasyarakatan, sepanjang ia memperlihatkan karakteristik
mengikat seseorang beserta keseluruhan hak-hak personalnya, dimana tiap orang
mengklaim sebagai yang memilikinya.
Konsep tentang
tidak adanya keharusan untuk mematuhi hukum
Alasan-alasan untuk tidam melakukan pelanggaran hukum
(membunuh, memperkosa, menganiaya atau mencuri) secara jelas suda memilki
relasi dengan aturan-aturan hukum sepenuhnya karena seseorang bergantung pada
kondisi bahwa perbuatan-perbuatan semacam itu, adalah hal yang betentangan dari
sudut kehendak atau kepentingan atau hak-hak moral dari orang-orang lain.
Bahwa “orang harus berperilaku sebagaimana yang
diharuskan oleh hukum” sementara itu, alasan-alasan yang digunakan diatas tidak
membutuhkan kesamaan, bahwa untuk tiap orang atau untuk tiap peristiwa, alasan
itu bisa berbeda, tetapi dalam konteks ini, mereka harus menjadi
generalitas yang memadai, sehingga
beberapa perangkat pertimbangan berciri umum akan dapat diaplikasikan terhadap
keseluruhan orang dan keseluruhan peristiwa aktual yuridikal.
Kepatuhan muncul bukan sebagai konsekuensi karena hukum
yang menakutkan kita dengan sanksinya yang pedih untuk abstain dari tindakan
pelanggaran hukum (membunuh, memperkosa, menganiaya atau mencuri) soal hukum
yang melarangnya itu orang suda tahu, tapi bukan itu yang menjadi alasan kenapa
saya tidak membunuh dll.
Perasaan Keadilan
Aristoteles dengan konsep keadilan korektif. Bahwa
keadilan adalah hal yang selalu berdekatan dengan usaha merestorasi (keadaan
pemulihan) untuk mengembalikan suasana akuilibrium (keseimbangan) yang
terganggu (disturbed). Pihak pengambil keputusan hanya akan berlaku adil
(setimbang) pada partisan-partisan hukum dalam beberapa kondisi tertentu :
1.
Manakala ia
melakukan investigasi terhadap karakter kerugian yang terjadi;
2.
Manakala ia melakukan
pencarian guna menyeimbangkan keadaan-keadaan yang terganggu tadi, dengan
menjatuhkan (pengadaan) sanksi yang harus diambil dalam cara-cara “menyakitkan”
kejam. Dan
3.
Akan menghitung
secara adil, serta menagih tanggung jawab atas tiap penderitaan ataupun
kerugian yang oleh pelaku ditimbulkan karena perbuatan-perbuatan melawan hukum
yang dilakukannya.
Karenanyalah pengertian keadilan yang seharusnya adalah :
1.
Keadilan adalah
penerapan hukuman (sanksi) dalam cara-cara yang pasti untuk menebus tiap tindak
kejahatan pidana;
2.
Keadilan adalah
pemulihan melalui ganti rugi yang diarahkan untuk menebus tiap-tiap
wanprestasi.
3.
Keadilan akan
berarti bahwa hal kerugian dan kerugian secara ekonomi yang diderita lantaran
perbuatan yang dikategorikan melawan hukum yang diarahkan untuk menutupi
tingkat kerugian dan kerusakan itu sendiri.
Ada tiga episode transformasi paradigmatik momen
pemngembangan dan pematangan prilaku manusia dalam mpersepsikan hukum sebagai
produk kesejarahan.
1.
Periode
pra-filsafat hukum (era ilmu hukum dan mitologi yunani) .
2.
Periode filsafat
hukum. Periode yunani hingga pada periode pasca yunani yakni peristiwa
memutuskan mata rantai dan muncul perkembangan baru yang disebut “positinisme
hukum”
3.
Periode
pasca-filsafat hukum. Dalam periode ini ditandai dengan menurunnya ketertarikan
orang pada filsafat hukum, dan mulai berali pada bidang-bidang ilmu yang
diturunkan dari ilmu itu sendiri, yang lebih merepresentasikan semangat
fragmatisme yang semata-mata lebih berpihak pada aspek formal atau praktikal
dari hukum.
Demikian
Wassalamun alaikum Wr-wb